Senin, 16 Mei 2011

BAB 10 ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

Pengertian
Pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana,
” Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkuren orang lain itu. ”
Menurut Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi atas tindakan ” persaingan curang ” harus memenuhi beberapa kriteria, sebagai berikut :
1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
2. Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka memperluas hasil dagangan atau perusahaan.
3. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut.
4. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu.
5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut telah menimbulkan kerugian bagi konkurennya.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu bentuk penguasaan barang atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau kelompok pelaku usaha.
Dalam Black Law Dictionary dikatakan, monopoly as prohibited by section 2 of The Sherman Antitrust Act, has two elements : 1) Possession of monopoly power in relevant market, 2) Willful acquisition or maintenance of that power.
Pada Pasal 4 Ayat 2 secara tegas pelaku usaha patut atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa, dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan adanya unsure yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.

B. Asas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Dengan demikian, tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

C. Kegiatan yang Dilarang.
Kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam praktis bisnis adalah :
1. Monopoli.
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu ( di pasar local atau nasional ) minimal sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.
Beberapa kriteria monopoli berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 :
a. Pelaku usa dilarang melakukan penguasaan atas produksi atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi atau pemasaran barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Ayat ( 1 ), jika :
• Barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya,
• Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan atau jasa yang sama,
• Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monopsoni.
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli, oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Monopsoni menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan paskan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasota atau menjadi pembeli tunggal seperti yang dimaksud dalam Ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penguasaan Pasar.
Pengusaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar.
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, antara lain :
a. Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan,
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha persaingan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya atau jasa pada pasar bersangkutan,
c. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan.
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan ( kecurangan ). Beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 :
a. Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur atau menentukan pemenang tender,
b. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan,
c. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya.
5. Posisi Dominan.
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan.
Dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa pelaku usaha dapat dikategorikan menggunakan posisi dominan apabila memenuhi kriteria, sebagai berikut :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing,
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
6. Jabatan Rangkap.
Menurut Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 1999, seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada prusahaan lain di waktu yang bersamaan, apabila perusahaan tersebut :
a. Bearada dalam pasar bersangkutan yang sama,
b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha,
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan Saham.
Berdasarkan Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang, pasar atau mendirikan perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan, antara lain :
a. Satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa satu jenis barang atau jasa tertentu,
b. Beberapa pelaku usaha, kelompok usaha, kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar atau satu jenis barang atau jasa tertentu.

8. Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dan secara tegas dilarang. Penggabungan dapat dilakukan hanya yang bersifat vertikal sesuai dengan Pasal 14 UU Nomor 5 Tahun 1999.

D. Perjanjian yang Dilarang.
Dalam bisnis telah ditentukan pelarangan para pelaku usaha, antara lain :
1. Oligopoli.
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan Harga.
Dalam rangka penetralisasi, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen dalam pasar bersangkutan yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar pembeli yang lain untuk barang atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak menjual kembali barang atau jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih rendah dari yang telah dijanjikan.



3. Pembagian Wilayah.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang atau jasa.
4. Pemboikotan.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa.
6. Trust.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau peseroan yang lebih besar.
7. Oligopsoni.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa dalam pasar bersangkutan.
8. Integrasi Vertikal.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu.
9. Perjanjian Tertutup.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku.

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

E. Hal-Hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli.
Hal-hal yang dikecualikan dari UU anti monopoli, antara lain :
1. Perjanjian yang dikecualikan.
2. Perbuatan yang dikecualikan.
3. Perbuatan dan perjanjian yang diperkecualikan.

F. Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Komisi pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Oleh karena itu dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ) yang bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan segala kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.

G. Sanksi.
Adapun dua kategori sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran bagi pelaku usaha yang melanggar UU, antara lain :
1. Sanksi Administrasi.
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan, pelebuaran dan pengambilalihan badan usaha.

2. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan.
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua puluh lima miliar rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar