Minggu, 30 Mei 2010

Tragedi Koja dan Dramatisasi di Televisi Kita

Tragedi Koja dan Dramatisasi di Televisi Kita

Menengok kembali kebelakang mengenai tragedi Koja yang dinilai sangat memprihatinkan bagi semua masyarakat dan sangat disayangkan bisa terjadi. Saya akan menampilkan kembali opini tentang tragedi Koja yang di buat oleh Maryuni Kabul Budiono,dengan tujuan agar masyarakat bisa memandang tragedy ini sebagai tragedy yang besar setelah beberapa tahun yang lampau ada tragedy Trisakti dan mengingatkan masyarakat untuk tidak berlaku anarkis jika terjadi perselisihan.

Peristiwa Koja – Tanjung Priok, Rabu kemarin,adalah sebuah drama. Salah satu tragedi di negari ini.. Suatu realitas sosial yang menyedihkan dan menyayat hati. Anarkisme dan kekerasan massal itu terjadi di ibukota negara yang segera menjadi berita dunia. Perkelahian massal itu ditayangkan di beberapa televisi dengan sangat terbuka. Drama kemanusiaan itu menjadi semakin tragis ketika terasa ada upaya mendramatisir realitanya di layar kaca. Kamis pagi pagi sekali ketika suasana sudah mendingin, salah satu stasiun tv berita berulang ulang menyiarkan pertempuran antara warga dengan satpol PP dan polisi. Dengan dibumbui musik ‘tegang’. Bagi saya, peristiwanya semakin menyeramkan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, stasiun tv berita lainnya juga menayangkan gambar beberapa warga yang dengan beringas menggebuki dan melukai seorang petugas yang sudah jatuh tak berdaya. Sayapun menonton adegan satpol PP dan polisi yang menggebuki seorang warga yang kepepet sendirian. Sajian berita yang mendebarkan itu juga bercampur dengan penggunaan bahasa kekerasan oleh seorang reporter. Tanpa disertai gambar ( untungnya memang tidak disertai ) seorang reporter perempuan yang masih sangat muda, Rabu sore, dengan tenang mengatakan “ ya.. tidak jauh dari tempat saya, di dekat pagar saya lihat ada…hm.. potongan lengan seseorang “.
Berbeda dengan televisi kita itu, Koran Kompas dan Media Indonesia, nampak lebih mampu menahan diri dan menunjukkan pola jurnalisme damai pada pemberitaannya. Media Indonesia, sama sekali tidak memuat gambar foto pertempuran mengerikan itu pada halaman mukanya. Demikian juga Kompas. Kedua koran nasional itu memasang foto dampak pembakaran mobil satpol PP oleh warga ketimbang adegan pertempuran yang ‘sesungguhnya lebih eye catching dan bizarre’. Headline beritanya, bagi saya juga sungguh simpatik. Kompas memilih judul ‘ Kerugian Capai Ratusan Rupiah’, dan ‘ Mereka ( korban kerusuhan ) Berdampingan di RSUD Koja’. Foto kerusuhan lainnya yang tetap terpilih dimuat di halaman metropolitan yang lebih kedalam. Kedua koran nasional itu nampak berusaha menghindarkan penggunaan ‘bahasa kekerasan simbolik’ dalam pemberitaannya. Saya yakin, selain foto yang ditayangkan, wartawan foto kedua koran nasional itu pasti mempunyai simpanan foto-foto lain yang ‘lebih seram’ yang tidak dipilih redaktur pelaksana untuk ditayangkan. Saya berpendapat, kedua media massa nasional itu, telah mempraktekkan kebijakan jurnalisme damai dan mempetunjukkan pertanggung jawaban sosialnya.
Menurut para praktisi, jurnalisne damai adalah antitesis dari jurnalisme kekerasan ( violence journalism ), yang perlu dimainkan media untuk mendorong terjadinya resolusi konflik, antara pihak yang bersengketa. Dalam peran seperti itu media menghindarkan diri menjadi pemertajam isu dan konflik ( issue intensifier ).
Kerusuhan Koja, bukanlah yang pertama terjadi di kawasan Tanjung Priok. Tahun 1984, pernah terjadi keributan yang antaralain menewaskan almarhum Amir Biki dan menghilangkan puluhan warga. Di jaman itu, peristiwanya tidak terekspos. Atas tekanan rejim, media ketika itu didorong memainkan peran sebagai conflict diminisher , yaitu menenggelamkan isu dan menjadikannya seolah olah tidak ada. Hal itu tidak dilakukan hanya untuk kasus Tanjung Priok, tetapi juga kasus lainnya seperti peristiwa Talangsari di Lampung. Semua dilakukan dengan mengatasnamakan ‘demi kepentingan dan stabilitas nasional’ .
Sejak reformasi, pola pemberitaan media massa kita berbeda. Semuanya serba terbuka. Apapun boleh dan bisa dimuat. Hal itu terwujud dalam rangka memenuhi hakekat keterbukaan informasi guna memenuhi hak masyarakat untuk tahu segala sesuatu ( people right to know ). Mengenai mana yang patut dicetak ( fit to print ) dan layak ditayangkan ( fit to broadcast ) ditentukan oleh kebijakan redaksional ( editorial policy ) masing-masing. Dari aspek independensi redaksional itulah akan dapat diukur, sejauh mana media massa kita, khususnya televisi, mampu mewujudkan pertanggung jawaban sosial ( social responsibility ). Saya ingat kembali sebuah tulisan yang mengatakan bahwa ketika press cenderung menjadi liberal dan berorientasi pada pasar maka beritanya cenderung mengeksploitasi 3 B.
B pertama adalah ‘blood ’, yaitu menyiarkan peristiwa yang berdarah-darah, B kedua adalah ‘brawl ’ yaitu keributan aau kerusuhan. Sedangkan B yang ketiga berita mengenai kelaparan ‘bread ’. Filosofi yang sedemikian itu, menjadi sangat mudah merasuk di kalangan jurnalis jurnalis muda yang bekerja di media bersangkutan, karena didorong oleh persaingan. Atau redaktur yang lebih senior memang mendorong mereka melakukan peliputan mengenai kejadian kejadian 3B itu tanpa harus mengindahkan dan menanamkan kode etik jurnalistik. Pola pemberitaan seperti itu makin menguat karena pengaruh rating untuk acara pemberitaan. Sebab menurut survey yang dilakukan, berita yang ratingnya tinggi memang adalah yang menonjolkan 3 B itu. Mengenai hal ini, pernah dikemukakan seorang teman yang pernah menjadi seorang redaktur salah satu stasiun tv komersil di Jakarta.
Jika demikian halnya siapakah yang berwenang mengingatkan dan media mana yang dapat menjadi alternatif bagi pemberitaan yang berorientasi rating itu ?
Menurut saya Komisi Penyiaran Indonesia, mesti benar-benar memainkan peranannya. Lembaga negara independen ini, semestinya tidak hanya menunggu laporan dan keluhan masyarakat terhadap berita yang menyesatkan itu. Para komisionernya mesti proaktif.Sejalan dengan itu organisasi profesi kewartawanan, harus dapat mendorong para wartawan memahami bahwa media massa bisa berbahaya ketika terdorong menjalankan fungsi sebagai pembentuk rupa masyarakat ( molder of reality ).
Seiring dengan itu tv publik mesti ambil peranan. TVRI sebagai satu satunya televisi publik nasional mesti berdaya dan diberdayakan. Dalam peristiwa Koja misalnya, TVRI mesti dapat menampilkan berita yang berbeda dengan tv swasta. TVRI tidak boleh dengan sengaja menyembunyikan peristiwanya atas nama stabilitas nasional. Apalagi karena keinginan atau tekanan pihak tertentu. Sebab jika itu dilakukan TVRI sudah mengingkari hak masyarakat untuk tahu. Tetapi, liputannya mesti harus mendorong terjadinya resolusi konflik, jernih, terbebas dari dramatisasi dan dapat menjelaskan duduk soal kejadian. Ketika yang lain menggunakan sensasi dan kekisruhan sebagai dagangan, maka TVRI harus mampu menyajikan gambaran ‘ bahwa keributan, perkelahian yang berdarah-darah ‘ bukanlah sesuatu yang menyelesaikan masalah. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI melalui tayangan dan RRI melalui siarannya, harus dapat mengaplikasikan prinsip jurnalisme damai. Dengan kebijaksanaan redaksi yang demikian, TVRI akan mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat. Sebab ia akan berhasil menjadi suluh bagi masyarakat kita yang sering gundah dan kebingungan ditengah persaingan pemberitaan media yang menjadikan rating dan pasar sebagai acuan.

Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar